Matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan nuansa oranye keemasan. Di tengah hembusan angin yang berbisik lembut, Rengkuh Banyu Mahandaru duduk terbenam dalam pikirannya, mengawasi laut Wakatobi yang membiru dalam pelukan senja.
Beberapa jam lalu, dengan semangat dan harapan menggebu, ia menceburkan diri ke dalam gelombang yang tenang, membayangkan karang yang menari bersama ikan-ikan berwarna cerah. Namun, yang ia temukan di bawah sana, sungguh jauh dari ekspektasi. Alih-alih menyaksikan kawanan ikan tropis yang berkejaran dan lambaian terumbu karang, ia malah mendapati lembaran styrofoam dan plastik melayang-layang, menciptakan kontras yang menyedihkan dengan keindahan alam.
Momen itu, yang seharusnya penuh keajaiban, berubah menjadi pelajaran pahit, membekas dalam ingatan dan mengguncang nurani. Apa yang dirasakan Rengkuh selanjutnya tak hanya sebatas kekecewaan tapi terus menumpuk jadi keresahan yang menetap di hati.
Ia mulai bertanya, apakah ia juga memberi andil dalam menciptakan kerusakan itu?
Ingatan melayang, membawanya ke kegalauan di masa lalu. Kegalauan yang sebelumnya dianggap sepele dan segera menguap ditelan kesibukan.
Rengkuh, seperti kebanyakan pemuda yang tinggal di perkotaan yang memulai rutinitas kerjanya dari pagi hingga sore. Kesibukan kerap membuatnya memilih memesan makanan secara online dengan dalih kepraktisan.
Satu pesanan nasi ayam, diterimanya dalam keadaan terbungkus rapi dengan kemasan styrofoam. Nasi dikemas terpisah, ayam dibungkus tersendiri pun begitu dengan sambal dan kelengkapan lainnya.
Satu menu makanan menghasilkan residu 5 kemasan styrofoam!
Keresahan yang kian menumpuk, ditambah bayangan laut Wakatobi yang mulai ‘tercemar’, membuat Rengkuh mulai menggali gagasan, “Adakah cara lain untuk menggantikan styrofoam?”
Mungkinkah ia bisa membuat kemasan berbahan ramah lingkungan yang tak membebani alam?
Terinspirasi dari India: Kemasan Berbahan Limbah Pertanian
Dalam suatu kesempatan saat berkunjung ke India, Rengkuh melihat bagaimana daun jati dimanfaatkan menjadi piring dan mangkuk kecil yang fungsional sekaligus ramah lingkungan karena mudah terurai.
Kultur masyarakat India, menurut Rengkuh, memiliki banyak persamaan dengan Indonesia. Mulai dari kepadatan penduduknya, termasuk juga behavior membuang sampah. Bedanya, kebanyakan tumpukan sampah di India merupakan sampah organik yang bisa dikompos.
Ia lantas teringat, jauh di masa lalu, masyarakat Indonesia pun punya kebiasaan membungkus makanan menggunakan daun. Pemanfaatan daun jati, daun pisang, daun talas, daun nangka, hingga daun kelapa untuk mengemas makanan adalah hal yang lumrah dilakukan oleh para leluhur kita terdahulu.
Sebuah kearifan lokal yang ternyata ramah lingkungan.
Bahkan di beberapa wilayah Indonesia, tradisi itu masih dilakukan. Meski belakangan kian tergerus dengan penggunaan kemasan plastik, yang lagi-lagi, lebih praktis dan terkesan 'bersih'.
Membangun Plepah, Bersama Komunitas dan Alam
Tahun 2018, niat Rengkuh untuk melakukan aksi nyata mengurangi limbah styrofoam mulai diwujudkan. Bersama dua rekannya, ia merintis bisnis kemasan makanan ramah lingkungan berbahan pelepah pinang. Bisnisnya ini diberi nama, 'Plepah'.
sumber foto instagram @plepah_id |
Nggak main-main, saat memulai bisnisnya, Rengkuh dan teman-teman melakukan proses riset mendalam, bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Inovasi Kewirausahaan Institut Teknologi Bandung (LPIK ITB) dan Pusat Pengembangan Biomaterial LIPI untuk meneliti material dan produk.
Tak hanya itu, Plepah juga bekerja sama dengan Biological Society of London dan Departemen for International Development United Kingdom untuk pengelolaan pemberdayaan masyarakat.
Plepah, dibesarkan tak hanya dengan semangat pelestarian lingkungan, tetapi juga dengan harapan memberdayakan warga lokal, khususnya para masyarakat di sekitar hutan dan perkebunan pinang yang selama ini banyak menggantungkan hidupnya dari sumber daya perkebunan.
Kenapa pelepah pinang?
Pinang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nusantara sejak lama. Tumbuhan monokotil, yang masuk dalam keluarga palem-paleman ini punya banyak sebutan. Sebut saja, pineung, urai, pining, penang, jambe, bua, ua, wua, pua, fua, hua, rapo dan nama lainnya.
Ukiran pohon pinang bahkan juga dapat kita temui pada relief Candi Borobudur dan Candi Sukuh. Pun begitu, pada prasasti Talang Tua (684 M) yang beberapa kali menyebutkan pemanfaatan tanaman ini.
Tanaman pinang dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia. Di Jawa, tanaman ini kerap ditemui sebagai tanaman penghias pekarangan. Namun di Sumatera, tanaman pinang dibudidayakan di perkebunan untuk keperluan industri dan ekspor.
Bagian yang kerap dimanfaatkan adalah biji dan buah pinang untuk obat, campuran kosmetik, permen dan bahan penyamak.
Sementara itu bagian pelepah daun yang berbentuk tabung dengan panjang 80 cm, tangkai daun pendek; helaian daun panjangnya sampai 80 cm, anak daun 85 x 5 cm, dengan ujung sobek dan bergerigi (wikipedia), lebih sering dibuang atau dibakar.
Memanfaatkan limbah menjadi produk bernilai ekonomi. sumber foto instagram @plepah_id |
Di masa lalu, masyarakat tradisional Jambi sebenarnya telah memanfaatkan pelepah pinang, yang mereka sebut upih pinang, untuk membungkus makanan. Namun penggunaannya masih terbatas.
Melihat potensi pemanfaatan pelepah pinang, Rengkuh pun mulai membangun relasi dengan masyarakat petani di Jambi dan Sumatera Selatan, dua kawasan yang memiliki perkebunan pinang terbesar di Indonesia. Kebetulan saat itu, ia juga sedang bekerja di NGO yang fokus pada usaha konservasi hutan.
Rengkuh sadar, untuk menjamin kelanggengan bisnis, kolaborasi adalah hal mutlak. Karena itu, ia membangun Plepah sebagai bisnis komunitas yang mengusung semangat kolaborasi demi keberlanjutan.
Bersama masyarakat Desa Teluk Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, dan Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Plepah membangun rantai pasok bahan baku lokal.
sumber foto instagram @plepah_id |
Kolaborasi ini bukan sekadar bisnis, tapi juga upaya untuk berdaya bersama dan menghasilkan perubahan positif bagi lingkungan serta kesejahteraan masyarakat setempat. Pelepah pinang yang sebelumnya dianggap limbah dan dibakar begitu saja, kini bisa menghasilkan cuan tambahan.
Sebagai gambaran, di kawasan Tanjung Jabung Barat terdapat lebih dari 80.000 hektar pinang yang tersebar di sembilan kecamatan, dan dalam luasan satu hektare dapat dihasilkan sekitar 90 kilogram pelepah pisang. Ada pelepah yang jatuh dari pohon dan ada juga yang bisa diambil langsung dari pohonnya.
Mereka yang tadinya hanya memanen pinang untuk dijual ke pasar, kini diajak untuk bergabung dalam gerakan baru. Bersama-sama, mereka mengolah pelepah pinang yang sebelumnya hanya menjadi limbah, menjadi produk bernilai tinggi.
Tambahan penghasilan yang didapat oleh warga yang tergabung dalam program Plepah cukup lumayan.
Para petani dapat menjual pelepah pinang Rp 2.000 per kilogram kepada Plepah, sehingga mereka mendapat tambahan penghasilan tambahan antara Rp 1.500.000 hingga Rp 3.000.000 per bulan.
Proses pengolahan pelepah menjadi kemasan makanan ramah lingkungan sebenarnya tidak terlalu rumit. Dimulai dengan sterilisasi pelepah pinang, setelah itu pelepah di-press menggunakan mesin panas khusus untuk menghasilkan bentuk yang diharapkan.
Dari satu lembar pelepah, biasanya dihasilkan 3-4 piring lengkap dengan tutupnya. Sementara untuk wadah kontainer, satu lembar dapat menghasilkan 2-3 wadah.
sumber foto @plepah_id |
Produk Plepah terbuat sepenuhnya dari bahan organik tanpa tambahan zat lain, termasuk plastik. Setelah digunakan, kemasan Plepah akan terurai secara alami dalam 60 hari tanpa menyisakan residu logam atau mikroplastik.
proses pembuatan plepah. sumber foto teknologi.bisnis.com |
Produk Plepah ini juga tahan air, sehingga aman untuk makanan, dan mampu bertahan hingga suhu 200 derajat Celsius selama 4 menit dalam microwave atau 45 menit dalam oven. Selain itu, sebelum dipasarkan, setiap produk Plepah menjalani proses sterilisasi dengan sinar UV untuk memastikan kebersihannya.
proses produksi plepah. sumber foto teknologi.bisnis.com/ |
Rengkuh mengklaim produk Plepah bisa digunakan ulang hingga 2-3 kali. Pun begitu, ia tetap menyarankan agar pemakaian produk Plepah untuk single-use. “Setelah itu bisa langsung dikompos saja,” katanya.
Dalam waktu yang tak relatif lama, Plepah berkembang, hingga kini memiliki tiga titik produksi, yaitu di Jambi, Sumatera Selatan dan pusat riset di Bogor. Berawal dari modal patungan Rp 100 juta, dan produksi 500 pieces per bulan, kini bisnis Plepah telah berkembang hingga mampu memproduksi 30.000 – 50.000 per bulan untuk memenuhi permintaan dari pasar dalam dan luar negeri.
Proses penyortiran dan penyimpanan pelepah pinang. sumber foto teknologi.bisnis.com |
Tantangan dan Harapan untuk Masa Depan
Perjalanan Plepah tak mulus. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah keengganan pasar dalam negeri meninggalkan plastik dan styrofoam untuk kemasan makanan.
Dari kacamata konsumen, hal ini mungkin bisa dimengerti mengingat produk food packaging Plepah dibanderol dengan harga retail yang cukup tinggi, Rp5.000 per produk. Sementara kemasan berbahan styrofoam dijual 10 kali lebih murah yaitu Rp 300-500 per kemasan.
sumber foto instagram @plepah_id |
“Saat ini, tantangan utamanya adalah menurunkan harga retail. Semoga di masa mendatang produk Plepah bisa diterima dan digunakan seluruh kalangan,” imbuh dia.
Meski demikian, Rengkuh optimis Plepah bisa terus berkembang. Mengingat, potensi permintaan kemasan makanan berbahan baku ramah lingkungan saat ini mencapai 1,8 juta pcs per tahunnya. Ditambah lagi, makin meningkatnya kesadaran masyarakat dan para pengusaha makanan untuk menggunakan kemasan makanan ramah lingkungan.
Lebih dari sekadar bisnis produk kemasan, Plepah diharapkan bisa menjadi gerakan yang menginspirasi banyak orang untuk lebih menghargai dan melestarikan ‘pemberian’ bumi.
Bisnis berkelanjutan ini, tak melulu bicara profit. Bagi para petani, Plepah membuka peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, sekaligus mengatasi masalah limbah pertanian yang selama ini hanya menumpuk tak tertangani.
Melalui Plepah, Rengkuh berhasil menciptakan dampak nyata, baik untuk kelestarian lingkungan, kewirausahaan hingga pemberdayaan masyarakat lokal.
Tak heran, berkat kerja kerasnya, Plepah kian menarik perhatian dari berbagai pihak, khususnya perusahaan besar yang memiliki visi serupa dalam mendukung kelestarian lingkungan, bisnis berkelanjutan dan inovasi, seperti Astra.
Pada tahun 2023, PT Astra International Tbk memberikan penghargaan kepada Plepah dalam ajang SATU Indonesia Award, untuk kategori kelompok yang mencakup bidang lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi. Penghargaan ini bukan hanya bentuk apresiasi bagi Rengkuh dan timnya, tetapi juga dorongan bagi mereka untuk terus melangkah maju, sebagai representasi dari komitmen perusahaan terhadap gerakan sosial berkelanjutan yang memberi dampak nyata bagi lingkungan dan masyarakat.
Kunjungan Vice Minister for Science, Technology and Innovation Plicy of Japan, Hiroki Matsuo (@plepah_id) |
Bagi Rengkuh, penghargaan dan pengakuan adalah hal yang ia syukuri, tetapi bukanlah tujuan utama. Cita-citanya sederhana: ia ingin produk Plepah dikenal luas, bukan karena namanya, tetapi karena manfaatnya.
Ia berharap suatu saat nanti akan tiba masa ketika masyarakat akan memilih Plepah secara alami, tanpa berpikir panjang, sama seperti mereka kini memilih styrofoam. Namun kali ini, pilihan itu lebih bijak, lebih ramah lingkungan, dan penuh kesadaran bahwa setiap tindakan kecil bisa memberi dampak besar bagi dunia.
Semoga jadi tambah tahu....
Tidak ada komentar