Seperti anak generasi 80-an dan 90-an lain yang susah move on dari keriangan masa kecilnya, saya pun memiliki banyak kerinduan dengan masa-masa itu. Mengulangnya lagi jelas tidak mungkin, namun keinginan untuk menghadirkan kembali atmosfer kebahagiaan itu, harus saya akui, selalu ada.
Tapi bukan mainan atau jajanan 90-an yang bikin saya kangen, bukan pula acara-acara televisi untuk anak seperti Candy-candy dan Unyil. Ah, hidup memang masih terasa simpel saat itu. Tidak banyak berita huru-hara, tidak ada acara gosip yang selalu menampilkan orang-orang cari sensasi. Tapi bukan itu juga yang bikin saya kangen.
Lalu apa dong?
Jawabannya adalah dongeng dan cerita yang dituturkan Bapak tiap kali menjelang tidur. Itu yang bikin saya selalu rindu dengan masa kecil.
Dulu tiap kali mau tidur, setelah melakukan ritual gosok gigi dan cuci kaki, Bapak biasanya akan masuk ke kamar dan menemani saya dan adik untuk tidur. Lalu Bapak akan bercerita, tentang kisahnya di masa kecil. Masa ketika listrik belum ada di desa, masa ketika Bapak kecil harus membawa obor kalau mau keluar rumah di malam hari. Cerita itu selalu diulang. Bapak bilang, beliau sendiri bosan karena harus mengulang-ulang cerita yang sama. Tapi kami tidak pernah bosan mendengarkannya.
Kadang, Bapak juga bercerita tentang cerita rakyat. Bawang Merah Bawang Putih, Timun Mas, Keong Emas, atau juga cerita rakyat berdasarkan sejarah. Cerita yang paling suka adalah cerita Ken Arok dan Keris Empu Gandring. Referensi cerita rakyat yang Bapak punya memang banyak. Konon beliau mengetahui kisah-kisah itu karena kerap mengikuti Simbah Kakung bemain Tonil, sebuah pertunjukan sandiwara rakyat di masa kolonial Belanda.
Lain waktu, Bapak mendongeng. Dongeng Si Kancil yang mencuri timun Pak Tani, yang masih kerap saya ceritakan untuk anak saya. Tiap kali mendongeng, usaha Bapak total sekali. Suaranya diubah-ubah, tangan dan kakinya bergerak-gerak mengikuti gerakan Pak Tani dan Kancil. Kami suka mendengarkannya. Sambil mendengarkan cerita Bapak, imajinasi saya melayang membayangkan melihat hutan, bertemu si Kancil dan kadang juga membayangkan cara pembuatan keris ala Empu Gandring.
Lain Bapak, lain pula Ibu. Ibu saya adalah seorang kutu buku, yah mungkin bisa dibilang begitu. Sepanjang ingatan saya tentang masa kecil, tiap hari ibu menghabiskan waktu luangnya dengan membaca. Pergi ke salon pun beliau membawa novel. Koleksi novel beliau banyak sekali, berasal dari berbagai macam genre. Mulai dari novel misteri Agatha Christie, novel karya penulis Indonesia seperti NH Dini, Buya Hamka, Mira W, Maria A Sardjono hingga Bastian Tito. Kata Ibu, dari buku ada banyak pengajaran yang bisa diambil. Keyakinan inilah yang membuat Ibu lebih sering membelikan buku untuk kami alih-alih mainan.
Bukan hanya novel, Ibu juga langganan berbagai majalah seperti Kartini, Femina dan Ayah Bunda. Nah, majalah-majalah wanita itu secara rutin juga memberi sisipan berupa cergam untuk anak. Itulah yang beliau bacakan untuk saya. Dari yang semula hanya rajin melihat gambar, entah bagaimana prosesnya tahu-tahu saya bisa membaca sendiri. Dan akhirnya majalah wanita punya ibu pun ikut saya baca meski tidak benar-benar paham isi artikelnya.
Dari yang tidak paham, karena sering membaca lama kelamaan saya menjadi paham. Kalaupun masih belum paham, Ibu dan Bapak kadang membantu saya untuk memahami sebuah bacaan. Semakin besar, saya dan Ibu malah kerap berdiskusi asyik tentang berbagai bacaan. Tidak jarang, buku yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah pun ikut dibaca Ibu. Ibu saya memang penggila buku sejati. Saya senang, karena dongeng dan buku selalu mendekatkan hubungan saya dengan Bapak dan Ibu.
Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, apa yang dilakukan Bapak dan Ibu dulu boleh dibilang merupakan bagian dari upaya membangun “budaya literasi keluarga”.
Sebuah aksi yang sederhana sebenarnya, tapi apa iya efeknya sesederhana itu?
Apa iya mendongeng dan membacakan buku untuk anak bisa disebut membudayakan literasi keluarga?
Sebelum kita bahas itu lebih jauh, ada baiknya kalau kita memahami dulu apa itu literasi.
Menurut KBBI, Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan menulis atau membaca, kemampuan pengetahuan atau keterampilan di bidang tertentu dan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Sementara itu arti literasi menurut Wikipedia malah lebih luas lagi. Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa.
Kedua pengertian itu memberikan kita gambaran jelas, bahwa literasi tidak sekadar kemampuan membaca dan menulis. Malah Education Development Center (EDC) turut menegaskan bahwa literasi adalah kemampuan individu menggunakan potensi yang dimilikinya, dan tidak sebatas kemampuan baca tulis saja. Pemerintah sendiri terus menggalakkan kemampuan literasi ini dengan mengkampanyekan Gerakan Literasi Nasional dan membagi literasi dasar menjadi 6 kategori, yaitu;
sumber foto: sahabat keluarga |
Oke, pengertian literasi ini akhirnya sedikit menjawab keresahan saya tentang angka melek aksara yang berbanding terbalik dengan minat baca. Ternyata literasi bukan sekadar membaca. Karena soal urusan membaca dan menulis sih sudah sejak lama anak-anak Indonesia ini terbebas dari buta aksara, tapi kenapa minat baca dan kemampuan literasinya rendah? Apa yang salah?
Saking malasnya membaca, banyak orang Indonesia jadi korban hoax. Baru selesai membaca judul berita, emosi sudah tersulut. Baru lihat cover majalah sudah mau menuntut. Kan lucu.
Orang-orang literate, alias orang-orang yang terpelajar, memiliki tingkat literasi yang tinggi. Orang-orang seperti ini adalah tipikal orang yang, kalau mengacu pada pengertian literasi Wikipedia, cakap dalam mengolah informasi. Tidak membabi buta dan menelan mentah-mentah segala informasi yang sampai kepadanya. Kalau semua info ditelan mentah-mentah jadinya kan mabuk sendiri.
Tapi pertanyaan berikutnya, kalau tingkat literasi tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan membaca, kenapa gerakan literasi selalu dikaitkan dengan kebiasaan membaca buku?
Penjelasan sederhana ini mungkin bisa memberi sedikit gambaran.
Menurut Key Pugh,PhD, Direktur Penelitian Haskins Laboratories kepada Majalah Oprah sebagaimana dikutip dari Kumparan, bila dibandingkan dengan kegiatan menonton televisi, membaca memberi pelatihan yang berbeda pada otak. Latihan ini terjadi saat orang yang membaca sedang memahami halaman per halaman. Membaca merangsang kerja otak untuk mengembangkan fungsi lain, seperti kemampuan imajinasi, bahasa, dan pembelajaran asosiatif.
Ditambahkan Key Pugh, kesemua fungsi ini terhubung dalam sirkuit saraf tertentu. Itu alasannya, mengapa membaca dapat memacu otak untuk berpikir dan konsentrasi. Dengan kata lain, saat seseorang membaca otaknya akan menjadi lebih aktif karena terlatih untuk mengolah informasi dalam bentuk kata dan huruf. Hal ini juga merangsang dan melatih otak untuk fokus, memahami bahasa hingga kemudian merekonstruksi tulisan itu menjadi visual di alam pikir atau dengan kata lain berimajinasi.
Teori ini juga didukung oleh hasil riset Emory University’s Center for Neuropolicy sebagaimana dikutip dari laman klikdokter. Menurut riset itu, membaca membuat neuron di area otak aktif menciptakan sensasi dari cerita yang sedang dibaca. Jadi, membaca tidak hanya sekadar memberi imajinasi tetapi juga berpengaruh pada proses biologis otak.
Tidak hanya itu, masih menurut artikel yang sama, saat seseorang membaca secara linier dan runut maka otak akan belajar untuk mencerna informasi secara perlahan. Latihan ini membantu otak untuk memproses sebuah narasi yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan otak untuk memori jangka panjang dan berpikir sistematis.
Proses ini agak berbeda dengan saat kita menonton, dimana otak hanya terstimulus untuk menerima visual sehingga terkesan pasif karena tidak punya cukup waktu untuk mengolah informasi yang diterima.
Pun begitu, bukan berarti menonton jadi sesuatu yang buruk. Rangsangan berupa bacaan, audio dan visual perlu diberikan secara berkesinambungan untuk memaksimalkan fungsi otak dalam mengolah dan merekonstruksi informasi menjadi sebuah narasi utuh.
Dan mendongeng menjawab semua ini. Bukankan ini jadi cara yang paling efektif untuk mengembangkan literasi pada anak-anak kita?
Saat mendongeng, entah dengan membacakan buku cerita atau tidak, kita membantu anak untuk berimajinasi. Membayangkan sedang berada di tempat tertentu, membayangkan sedang melakukan hal tertentu, membayangkan berinteraksi dengan seseorang dan lain sebagainya. Otak mereka menangkap informasi tentang situasi, tempat atau seorang tokoh dalam bentuk kata-kata lalu menerjemahkannya dalam pikiran.
Imajinasi bukan sesuatu yang buruk, sebaliknya imajinasi yang berkembang tanpa batas membantu anak-anak usia balita untuk mengembangkan kemampuan otaknya. Tak hanya penting untuk pengembangan kemampuan kognitif, imajinasi juga membantu anak untuk memahami realitas di masa mendatang. Melalui imajinasi anak-anak belajar pula memahami sesuatu dari perspektif orang lain. Atau dengan kata lain, belajar berempati.
Bahkan peradabaan dunia ini dibangun dari imajinasi para penemu. Bayangkan tanpa imajinasi apa mungkin tercipta pesawat terbang? Tanpa imajinasi mungkinkah tercipta smartphone? Semua diawali dari imajinasi.
Jadi kenapa kita tidak mulai mendongeng lagi untuk anak-anak?
Nyatanya, saat ini tidak banyak orang tua yang masih mendongeng untuk anaknya. Mereka menyuruh anak-anak mencintai buku tapi tidak pernah benar-benar mendampingi anak saat membaca buku. Mungkin buat orang tua zaman sekarang, mendongeng itu merepotkan. Ada pula yang berdalih tidak bisa bercerita seperti para pendongeng yang ahli mengubah suara.
Tradisi dongeng ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru di masayarakat kita. Jauh sebelum globalisasi datang, sebelum buku-buku anak impor masuk ke Indonesia, orang tua- orang tua kita sudah terbiasa mendongeng. Ya seperti yang dilakukan Bapak saya itu. Media dongeng juga bermacam-macam, ada yang mendongeng dengan menggunakan bantuan gambar, boneka seperti si Unyil dan Komo atau Wayang.
Mendongeng tidak membutuhkan tempat khusus, kita bisa mendongeng dimana saja. Di tempat tidur, di sofa, bahkan di mobil saat perjalanan pun bisa. Mendongeng adalah cara membangun literasi keluarga yang mudah dan murah.
Bagaimana tips supaya bisa mendongeng dengan asyik? Saya merangkum beberapa cara mendongeng yang mudah dari berbagai sumber. Coba disimak dulu ya
- Dongeng spontan. Ide ini terinspirasi dari channel Youtube pencipta karakter Cican, Wahyu Aditya. Di channel Fun Cican, Wahyu kerap mengunggah video saat sedang mendongeng untuk kedua anaknya. Cerita-cerita itu tercipta secara spontan. Ia membuat pengantar dan mengajak anak-anaknya untuk melengkapi cerita yang baru dibuat. Dengan dukungan kemampuan gambar yang sangat baik, cerita spontan itu terdengar seru, dan kocak.
- Menceritakan dongeng dan cerita rakyat asli Indonesia. Sebagai bangsa yang sangat maju dalam budaya tutur, Indonesia memiliki banyak sekali fabel dan cerita menarik dari berbagai penjuru negeri. Sebut sajalah cerita Si Kancil, Bawang Merah, Bawang Putih, Malin Kundang dan sebagainya. Kenalkan anak-anak dengan kisah yang berasal dari tanah air-nya sendiri. Kalau perlu ceritakan dengan versi dan gaya kita sendiri.
- Yuk, ajak anak menyaksikan wayang. Pertunjukan wayang adalah seni bertutur asli Indonesia yang sudah sangat tua. Menampilkan kombinasi visual dan cara tutur yang komplit dengan musik tradisional.
- Membacakan buku cerita. Ini jadi cara mendongeng yang paling mudah tapi efektif untuk menanamkan kecintaan pada buku. Ada banyak buku cerita baik lokal maupun impor yang mudah didapatkan di toko buku. Pilihkan cerita yang sederhana sesuai dengan usia anak. Akan lebih baik bila setelah membaca, kita mengajak anak untuk menceritakan kembali buku yang telah dibaca bersama. Tidak perlu dipaksa apalagi disalahkan bila anak membawakan cerita tak berurutan. Itu memang bagian dari proses belajarnya. Anak saya sendiri, kadang suka mencampurkan cerita dari berbagai buku yang pernah saya bacakan. Tokoh-tokoh di buku A, ditambahkan dengan tokoh di buku B, lalu menghadapi konflik seperti yang pernah ia baca di buku C. Pokoknya ngawur gitu, tapi seru juga.
- Kalau punya anak lebih dari satu, yuk ajak Si Kakak untuk belajar bercerita kepada adiknya. Ibu atau Ayah cukup mendampingi dan memberi tambahan narasi bila dibutuhkan. Dengan begini baik si Kakak maupun Adik bakal sama-sama belajar.
Kalau anak mulai menunjukkan ketertarikan untuk membaca dan mencipta cerita sendiri jangan lupa untuk selalu didukung ya. Bila perlu ajak anak mengembangkan idenya menjadi sebuah buku seperti yang dilakukan seorang rekan blogger Solo, Arinta Adiningtyas.
Membaca dongeng mendorong anak mengembangkan imajinasi sehingga bisa menciptakan karya |
sumber foto : mamakepiting.com |
Berawal dari ide cerita sederhana yang dicetuskan oleh Si Sulung, Amay, Arinta dan suaminya lantas mengajak untuk membuat buku berdasarkan kisah itu. “Mulai dari ide cerita dan gambar, semua hasil karya Amay sendiri, hanya dirapikan sedikit oleh Ayahnya. Saya membantu untuk memperbaiki ejaan dan menjual buku. Hasil penjualannya juga disumbangkan untuk korban bencana kok. Yah, ini supaya jadi media belajar saja buat dia,” tutur pemilik blog mamakepiting.com ini.
Nah, ternyata mendongeng punya banyak manfaat kan? Yuk kita mulai mendongeng lagi, untuk menumbuhkan budaya literasi dalam keluarga.
Semoga jadi tambah tahu ya.
#SahabatKeluarga
Ngomongin soal literasi, anak jaman sekarang gak cuma harus diarahkan untuk membaca tapi juga menulis, kebanyakan tangan mereka cepat lelah kalau disuruh menulis soalnya mungkin kebanyakan aktivitas di gadget dalam membuat tugas juga ya. Aku lagi melatih anakku untuk banyak menulis juga nih.
BalasHapusKarena dari dulu gak bisa mendongeng aku biasanya membacakan buku cerita dongeng aja ke anak-anak
wahh aku waktu anak-anak masih kecil..ya usia TK-awal SD aktif banget nih mendongeng atau bacain dongeng..emang banyak manfaatnya..Imajinasi dan kosakata mereka bertambah...heheh
BalasHapusMantap banget mba jika dikatakan literasi tidaj sekedar membaca dan menulis tapi potensi juga dikembangkan. Selama ini kan anggapnya ya baca dan tulis saja
BalasHapusMengenalkan dan membiasakan literasi pd anggota keluarga ini super duper penting ya Mba
BalasHapusPuingiiin deh lebih mengajak anak utk cinta dunia literasi
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Seingatku waktu kecil itu gak pernah didongengin sama ortu. Alhamdulillah suka baca. Kadang aku dongengin ponakanku. Tapi aku kalau dongeng tuh lebay dan ngedrama gitu. Jadi kadang cape sendiri. Semoga ya makin banyak yang suka baca
BalasHapusWah menarik tu minta si kakak cerita ke si adik. Kdng anakku suka gtu tapi akirnya rebutan baca buku pdhl keduanya blm lancar baca hehe.
BalasHapusLiterasi salah satunya literasi membaca ini emang penting banget diterpkan sedini mungkin di lingkungan keluarga ya mbk :D
Aku juga sekarang mulai biasakan mendongeng buat anak-anak mba dna tak lupa juga senang belikan buku-buku buat anak entah yah ada rasa happy apalagi mengingat dulu kecil aku jarang dibelikan buku karena keterbatasan ekonomi hahaha
BalasHapusSaya tuh paling enggak bisa ngedongeng, apalagi yang spontan, jadi pake contekan buku cerita aja hihihi... Menarik tuh yang ngajak anak-anak nonton wayang...
BalasHapusMendongeng banyak manfaatnya ya, di kelas ekskul menulis aku juga mengajak anak-anak mendengarkan dongeng dan kemudian mereka menulis kembali dongeng itu dengan bahasa sendiri..
BalasHapusterima kasih sudah diingatkan kembali, Dulu anak pertama dan kedua (selisih 1 tahun) saya masih semangat mendongeng ataupun membacakan buku. Alhamdulillah anak-anak akhirnya jadi suka baca buku. Tapi di anak ke tiga (selisih 6 tahun dengan anak kedua), saya sudah jarang sekali membacakan buku. Udah kalah sama gadget
BalasHapusMembaca dongeng mendorong anak mengembangkan imajinasi sehingga bisa menciptakan karya. Dan itu bisa dimulai dari langkah kecil seperti ritual mendongeng sebelum tidur ya Mbak.
BalasHapusMemang literasi perlu digalakkan pemahamannya dan semua bisa dimulai dari keluarga.
Iya mbak, salah satu hal yang sangat saya sukai di masa kecil pun mendengarkan dongeng. Dulu nenek yang suka mendongeng, dongeng masa kecil nenek di zaman Jepang. Sekarnag saya pun konsen membuat buku bacaan anak agar anak anak memiliki pilihan buku dongeng.
BalasHapusDulu aku juga sering didongengin ibuku cerita- cerita rakyat. Malah aku nih yang belum pernah dongengin anak-anakku cerita rakyat.
BalasHapusSenang sekali ya punya ayah yang gemar mendongeng. Jaman dulu aja udah jarang, apa lagi jaman sekarang
BalasHapusDulu waktu anak-anak saya masih kecil, saya selalu membacakan buku cerita menjelang mereka tidur. Sekarang mereka sudah besar, inginnya sih, mereka sudah mandiri baca sendiri. Tapi masih harus selalu diingatkan :)
BalasHapusSoal dongeng spontan, aku ampun-ampunan sama imajinasi anakku. Jadi, di rumah kami ada ritual mendongeng atau membaca sebelum tidur. Khusus mendongeng,adik yang menentukan ceritanya. Kadang-kadang dia pengin cerita donat dan kelinci. Kadang juga tikus dan permen coklat. Hari ini dan besok tidak pernah sama. Kadang-kadang sampai ibunya tidur dengan sakit kepala. Mumet leh gawe cerito. Hadehh. Gini amat tantangan parenting-ku.
BalasHapusMendongeng, wah iya banget nih penting banget buat aku belajar mendongeng buat persiapan kalo punya anak nantinya. anak-anak pasti suka banget kalo didongengin, jadi inget dulu waktu kecil setiap malam ibu selalu mendongeng.
BalasHapusMakkk...
BalasHapusAku baca sambil inget almarhum mbah kakung dan mbah uti... Aku sering bgt didongengin tentang kehidupan zaman dulu... Hiks
Wah sama dong kita, aku dulu juga selalu baca majalah Kartini milik ibu. Orang tua yang mengarjarkan budaya membaca, biasanya menurun ke anak-anaknya. Aku pun juga melakukan hal sama secara nggak sengaja sejak anak-anak masih kecil
BalasHapusJadi, makna Literasi itu luas ya mbak. Bukan hanya terkait baca tulis aja. Noted deh.
BalasHapusAku belajar dongengin ke keponakan, walau bukan tidur, tapi saat sambil main trus di story telling gitu, dia suka kwkwk. Selain itu ya kadang beliin bahan buku bacaan buat dia karena suka banget emang sama baca bukunya
Membacakan cerita ini kemarin-kemarin sudah pernah saya praktikkan. Dan anak saya suka banget. Tapi kadang saya yang ngantuk jadi malah saya yang tidur duluan dibanding anak saya haha. Emak yang nidurin dia pula yang ketiduran.
BalasHapusMendongeng selain menumbuhkan budaya literasi, juga mendekatkan hubungan ya mbaa.
BalasHapusYa ampun, ada aku 🙈
BalasHapusAsli, beneran jadi malu, karena tahun ini belum bisa membuat sesuatu seperti tahun lalu. Semoga semangat itu muncul kembali yaa.. Aamiin YRA.
Pengalaman kita semua semasa kecil ya mbak, didongengin. Dan sekarang aku coba wariskan juga sama anak sih, meski cara mendongengnya merasa jauh dari kemampuan orang tua dan simbah saya dulu. Tapi dari mendongeng itu juga kita bisa masukan nilai-nilai kebaikan buat anak.
BalasHapus