Pun begitu, ada satu hal rasanya yang nyaris tidak pernah berubah. Sebuah isu yang rasanya tidak akan pernah putus diperbincangkan, bahkan diperdebatkan. Sayangnya meski terus menerus diperdebatkan selama bertahun-tahun, sampai saat ini saya masih belum bisa menemukan kesimpulan. Apakah kebebasan pers itu sesuatu yang nyata? Atau sekadar fatamorgana?
Di masa perkuliahan saya dulu, setiap mata kuliah yang berhubungan dengan jurnalistik, pada akhirnya kami hampir selalu menyebut tentang perjuangan untuk mendapatkan kebebasan pers. Maklumlah, saya masuk kuliah saat gelora reformasi masih hangat-hangatnya.
Masa itu seperti titik tolak era baru dalam dunia pers indonesia. Media-media yang sebelumnya terkukung oleh hegemoni Orde Baru akhirnya bisa menarik napas lega. Tidak lagi perlu dipusingkan dengan SIUP dan kekhawatiran dibredel. Serta tidak perlu lagi was-was untuk meliput isu-isu yang berkaitan dengan skandal pejabat dan orang-orang di ring 1 kekuasaan.
Pada era itu pulalah jaminan terhadap kebebasan pers dikuatkan dengan penerbitan Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 UU Pers ini ini menyatakan dengan tegas adanya jaminan terhadap kebebasan pers seperti yang tertulis berikut;
- Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
- Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
- Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
- Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Bahkan jaminan ini diperkuat juga dengan adanya sanksi pidana bagi pelanggar kebebasan pers sebagaimana termuat pada Pasal 18 ayat 1
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Kebebasan yang Kebablasan
Saya ingat, di awal-awal pasca reformasi itu, media seperti menjamur. Dia tumbuh dimana-mana. Mulai dari media tingkat lokal, pers mahasiswa, hingga media berskala nasional, semuanya tumbuh subur hingga makin tak terhitung jumlahnya.Kami, saya dan beberapa teman mahasiswa jurnalistik, menyebut media-media ini sebagai media reformasi. Media yang lahir pasca reformasi dan memiliki karateristik pemberitaan yang serupa. Ya, media reformasi, atau media yang lahir pasca era reformasi hingga medio 2000-an doyan sekali mengkritisi pemerintah. Apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasti dicari celahnya supaya bisa dikritisi. Apapun masalah sosial yang ditemui, selalu pemerintah yang dijadikan pesakitan.
Begitulah, setiap hari berita-berita di media reformasi ini diisi dengan kinerja pemerintah A, daftar kegagalan pemerintah B, dan sebangsanya.
Di satu sisi, saya maklum dengan gaya pemberitaan seperti itu. Bagaimanapun pers hadir salah satunya sebagai kontrol kinerja pemerintah. Dan pengalaman dibelenggu selama puluhan tahun, membuat insan pers jadi terlalu bersemangat mengkritisi pemerintah.
Namun di sisi lain, ada kalanya saya merasa kritik yang disuarakan oleh pers itu malah kebablasan. Tidak proporsional dan malah terkesan seperti mencari sensasi. Apalagi kalau kebetulan media yang bersangkutan berafiliasi dengan pihak oposisi. Wah, kritiknya pasti makin membabi buta deh. Apa kabar independensi media?
Lalu apa hubungan ini dengan kebebasan pers?
Begini, menurut saya independensi jurnalis dan kebebasan pers adalah dua hal yang saling terkait.Keduanya berbanding lurus satu sama lain. Independensi jurnalis/media bisa dibilang, semacam prasyarat terwujudnya kebebasan pers.
Jurnalis dan media yang independen adalah bentuk kebebasan pers yang bertanggung jawab. Bagaimana mungkin kita mengharapkan hadirnya jaminan kebebasan berekspresi dan pengabaran fakta, kalau jurnalis sendiri dianggap tidak independen?
Saya paham, netralitas dalam jurnalistik adalah sebuah hal yang mustahil. Objektivitas dalam menampilkan fakta lapangan sulit dilakukan. Namun, bukankah kode etik jurnalis telah berusaha meminimalisir itu semua?
Itu sebabnya seorang jurnalis wajib melakukan cover both side. Itu sebabnya semua data lapangan yang didapat harus dikonfirmasi ke narasumber atau otoritas yang berwenang. Dan itu sebabnya, pantang buat jurnalis menyampaikan kabar bohong atau kejadian yang direkayasa. Sebagai jurnalis, kode etik profesi menuntut kita untuk bekerja dengan cara-cara yang etis dan manusiawi. Itu pulalah alasannya wacana tentang jurnalisme damai, jurnalisme ramah gender selalu digaungkan. Karena jurnalis harus etis, baik dalam proses pencarian fakta hingga penulisan berita.
Namun kenyataan di lapangan, boleh dibilang, tidak bisa berjalan seideal itu. Fakta bahwa institusi media adalah juga sebuah bisnis, jelas tak mungkin dikesampingkan.
Dunia bisnis adalah dunia yang sangat transaksional. Semua bisa diperjualbelikan, asalkan harganya cocok. Pun begitu yang terjadi pada sebuah media. Terlebih lagi, informasi menjadi komoditi yang paling seksi dan bernilai bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan kekuasaan. Wah, makin tidak ternilai lah nilai transaksinya.
Dewasa ini, jamak kita temui, para pemilik jaringan media besar yang memiliki afiliasi politik. Entah ia ada di dalam lingkaran kekuasaan atau sebagai oposisi. Dan dengan penguasaan jaringan media yang sedemikian besar dan luas, Anda bisa bayangkan sendiri lah seberapa besar kira-kira nilai tawar mereka.
Lantas apa kaitannya dengan kebebasan pers?
Sejujurnya, inilah kekhawatiran terbesar saya. Ancaman terbesar dari kebebasan pers mungkin bukan lagi terletak pada pihak-pihak luar. Ancaman terhadap kebebasan pers itu boleh jadi juga datang dari para pemilik media, para pemegang saham atau politisi yang mungkin bertransaksi dengan mereka.
Mungkin selama ini, kabar yang sering kita dengar adalah kebebasan pers yang ternoda oleh ancaman yang dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu kepada jurnalis. Yang selama ini kerap kita lihat boleh jadi, persekusi dan tindakan penghalangan-halangan yang dilakukan sekelompok massa kepada jurnalis yang meliput. Ya, ancaman itu memang ada. Persekusi kepada jurnalis hingga menghalangi kerja jurnalis juga banyak terjadi. Dan memang haram bagi kita untuk menutup mata dan berdiam diri dengan tindakan barbar yang bodoh seperti itu.
Tapi kita juga perlu mengakui bahwa ancaman terhadap kebebasan pers ini juga bisa datang dari dalam institusi media itu sendiri. Sudah jadi hal yang lumrah dikalangan para jurnalis yang datang meliput sebuah event, kegiatan atau insiden tertentu bukan semata karena news value-nya tetapi karena ada “pesanan” dari pihak tertentu.
Dan bukankah ada masanya pula, saat berita yang telah ditulis wartawan harus di take down hanya karena tidak sesuai dengan kepentingan pemilik media atau pihak-pihak yang dekat dengan mereka? Ayo, jujur sajalah. Kenyataan seperti itu memang kerap terjadi. Namun memang tidak pernah muncul ke permukaan karena ini menyangkut hajat hidup jurnalis yang bernaung di media tersebut.
Kita mungkin hanya bisa berharap bahwa para pemilik media atau pihak-pihak yang berkuasa atas jaringan media-media besar ini bisa lebih independen dan bijak dalam memisahkan kepentingan politik dan urusan editorial media. Saya pikir penting sekali untuk menjadikan ruang redaksi sebagai sebuah area yang netral bebas dari kepentingan bisnis dan kekuasaan. Ruang redaksi sebaiknya tetap memiliki otoritas sendiri dalam kebijakan pemberitaan.
Namun, kalau Anda jadi pemilik media yang juga memiliki kepentingan politik dan bisnis, apakah Anda juga akan melakukan itu? Mmebiarkan redaksi memiliki otoritas penuh pada pemberitaan?
Tidak kah Anda juga kan tergoda untuk mengarahkan pemberitaan yang menguntungkan Anda sendiri?
Lantas apa kita masih bisa bermimpi tentang terwujudnya kebebasan pers?
Entahlah, seperti yang saya bilang sebelumnya. Hingga saat ini saya sendiri belum bisa menyimpulkan apakah kebebasan pers adalah sesuatu yang nyata atau sekadar fatamorgana. Yang jelas, usaha untuk mewujudkan kebebasan pers dan independensi media tidak boleh putus dilakukan. Sebagai pilar demokrasi, pers memiliki peranan sangat penting untuk mewujudkan tatanan sosial, politik yang lebih beradab. Itu sebabnya, perlu ada jaminan yang lebih konkrit untuk mewujudkan kebebasan pers.
Semoga jadi tambah tahu ya.
Ah iya Mba
BalasHapusKepentingan pemilik modal tentu jadi faktor penentu gimana "bunyi" beritanya ya
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Amiinnn,
BalasHapusSemoga beneran ada kebebasan pers ya mbak, sepertinya walau di era modern sih, masih belum terwujud sepenuhnya untuk menyuarakan opini
TFS yahh Mbak ^_^
Kalau kebebasan pers di Indonesia menurutku sih nyata ya.. bisa dibandingkan dengan negara lain setidaknya di Asia/Asia Tenggara.. Cuma kadang memang disalahgunakan.. jadi kebablasan deh. . tapi gak semua media..
BalasHapuspemikiran yang keren. sejujurnya, media dan pers itu selalu berusaha memberikan dua opini berbeda, pintar-pintar kita aja yang mencari tahu apakah berita itu hoax atau tidak
BalasHapusKebebasan pers yang saat ini semoga dpat dtegakkan sesuai dengan apa yang diatur dengan undang-undang dan peraturan terkait :)
BalasHapusjangan sampai kebablasan
Kebebasan yang bertanggung jawab, sepertinya belum ya. Kalaupun banyak yang bersuara di media, kadang tidak mengindahkan kode etik pers.
BalasHapusCover both side, setuju, Kak.
BalasHapusJurnalis itu mengajarkan, bukan mengarahkan. Kalau sekarang apakah seperti itu?
Entahlah untuk kondisi negeri saat ini, media manakah yang saat ini masih bisa dipercaya? Saya sendiri sudah tahunan baca baca beritanya cuma yang berseliweran di beranda dan WAg saja. Jarang sekali buka di media website.
BalasHapusAku rasa belum ada media yang bener-bener bebas menyuarakan isi hati mereka.
BalasHapusKarena pers sendiri butuh penyokong dana atau back up popularitas?
Sekarang sih emang kyknya lebih baik dari masa lalu zaman apa2 dibredel, cuma minusnya ya itu kdng suka bablas. Nah era baru ini jg msh ada aja yang baperan dan main tuntut. Semoga ke depannya lbh baik lagi, yg penting jurnalisnya memegang teguh prinsip2 jurnalis yg independen. Maaf komengnya agak jauh, aklum saya cuma penonton xixixi.
BalasHapusWah, ternyata mbak wiwid kuliah di jurnalistik ya... Kaget saya baca artikel yang ini... Terlihat serius sekali...hihi...tapi benar mb, kebebasan pers tetap harus ada, kebebasan yang bertanggung jawab tentunya, dengan tetap memperhatikan kode etik jurnalistik. Karena kebebasan pers penting, agar informasi bisa adil dan berimbang.
BalasHapusSebagai anak media cetak, tapi aku bagian iklan sih sebenarnya. Cuma kalau pas dikantor gitu suka mendengarkan bagaimana wartawanku mencari berita dan suka curhat. Kadang apa yang mereka tulis pun penuh dengan tanggung jawab dan memang hasil dilapangan. Asal jangan sampai bablas aja sih kebebasannya.
BalasHapusNurut aku fatamorgana. Apa2 main ditangkap. Jadi ya sama ajalah. Yah udahlah skrg aku pun suka bingung baca informasi kadang suka ngak jelas atau malah ketahuan gimana ujungnya
BalasHapusKalo yang terlihat sih, kebebasan pers ini masih fatamorgana. Masih cenderung memihak. Bukan berdasarkan pada kebenaran. Sedih sih lihatnya. :(
BalasHapusEntahlah ya mak...serba salah mau ngeluarin isi hati bisa kejerat uu ite kalau misalnya ga hati2
BalasHapusJadi kembali ke kita sendiri ya mau gimana mengemas tulisan
IMHO, gak hanya kebebasan pers yang udah salah kaprah. Tapi manusia-manusia juga merasa punya hak urusin urusan manusia lain jadi bisa ngemeng apapun hingga menghujat
BalasHapusAku melihat banyak media mainstream yang terlihat banget keberpihakan nya keliatan ga netral.
BalasHapusAku sih setuju kebebasan pers asalkan..mereka tahu untuk apa menulis berita, tahu hal yang perlu dibagi dan diabaikan dan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat secara positif
BalasHapusJika dulu, medio tahun 2000an saya percaya 100% berita-berita yang muncul di media besar. Kini tidak lagi. Hampir semua media saya merasakan selalu menggiring ke sebuah opini yang berhaluan politik. Jadi sudah berhenti sama sekali tidak membaca media lagi.
BalasHapusKalau diperhatikan, kebebasan pers Indonesia memang belum sepenuhnya terwujud ya...masih banya kepentingan di belakangnya
BalasHapusSaya sih setuju aja dengan kebebasan pers
BalasHapusNamun seringkali disalahgunakan sehingga muncul berita yang hanya disorot satu sisi saja
Emang sekarang mah ngga bisa sembarangan. Mau kemukakan pendapat pun ngga bisa seenaknya. Ibaratnya jarimu harimaumu gitu ya
BalasHapuskalau pers dengan blogger itu beda gak sih mbak aturannya? Apakah bloger bisa disebut sebagai pers juga?
BalasHapusKalau menurut pendapat pribadiku sih bisa, karena kita juga "bermain" di ranah publik. tulisan blogger kan rata2 bentuknya feature ya. makanya akan lebih baik kalau kita juga mengakomodir kode etik jurnalistik buat blog kita sih.
HapusSaya sudah jarang baca berita, online maupun cetak. Sejak sering nemu judul berita/artikel "bombastis" tapi isinya "ya gitu deh"
BalasHapus