Saat berkunjung ke Museum Batik Danar Hadi, akhir September silam, saya jadi teringat lagi saat kali pertama bertemu dengan Santosa Doellah, sosok pencinta batik yang berada di balik pendiri Museum Batik Danar Hadi, sekitar 8 tahun yang lalu. Ketika itu, saya bertemu sebagai wartawan yang ingin menulis profil pengusaha Batik Danar Hadi ini.
(Baca juga : Batik Indonesia, Untuk Siapa? Milik Siapa?)
Setelah membuat temu janji melalui telepon sebelumnya, Santosa Doellah pun mengajak saya dan fotografer untuk melakukan wawancara di Museum Batik Danar Hadi, lokasinya tepat ada di belakang House of Danar Hadi, di Jalan Slamet Riyadi Solo. Beliau datang tepat di waktu yang kami sepakati sebelumnya. Pukul 14.00 WIB. Saya ingat betul kata-katanya saat itu. “Saya selalu berusaha untuk tepat waktu,” sebut dia.
Dari perbincangan kami saat itu, saya bisa merasakan betul passionnya terhadap batik. Lebih dari sekedar pengusaha batik, beliau memang seorang pecinta batik. Nah, sekedar sebagai bentuk apresiasi saya terhadap Empu Batik ini, berikut ini saya tuliskan kembali kisah Santosa Doellah yang pernah dimuat di Harian Umum SOLOPOS. Tentu ada sedikit modifikasi dan penambahan mengingat ada beberapa cerita yang tidak bisa ikut ditampilkan saat itu.
Lihatlah betapa bangganya orang Indonesia terhadap batik belakangan ini. Dalam setiap kesempatan, batik kerap jadi pilihan busana untuk menunjukkan identitas. Sungguh sebuah akhir cerita yang menggembirakan mengingat pamor batik sempat meredup, bahkan nyaris dilupakan oleh sebagian orang sampai akhirnya mata kita terbuka setelah budaya warisan leluhur itu diklaim Malaysia sebagai miliknya.
Berbicara mengenai perkembangan batik di Indonesia, kurang lengkap rasanya bila melewatkan pembahasan mengenai peran seorang Santosa Doellah. Kecintaan dan konsistensi sang pendiri Rumah Batik Danar Hadi terhadap batik terbukti tak lekang waktu. Ia pun jadi sosok di balik layar pengakuan batik oleh dunia.
Gayanya santun dan terasa berenergi, apalagi saat membicarakan aneka motif batik yang terpampang dan teratur apik di Museum Batik miliknya di Jalan Slamet Riyadi, Solo. “Coba perhatikan detail kerumitan setiap batik di ruang ini. Bayangkan bagaimana telatennya si pembatik membuat motif-motif yang rumit ini, tidak mudah lho membuat motif seperti ini. Butuh ketekunan luar biasa,” kata Santosa Doellah mengawali perbincangan.
Ibarat pepatah buah tak jatuh jauh dari pohon. Begitu pula gambaran ikatan Santosa dengan batik. Lahir dalam keluarga besar pembatik, Santosa tumbuh besar bersama kain batik beraneka motif. Saking familiarnya, tanpa disadari batik pun menjadi bagian dari jati diri pengusaha ternama ini. “Sejak kecil saya hidup berkubang batik. Mungkin itulah awal kecintaan saya terhadap batik, tapi jangan tanya kenapa saya menyukai batik, saya sendiri kadang bingung menjawabnya,” jawab Santosa lugas.
Santosa kecil kerap dilibatkan dalam kegiatan bisnis batik keluarganya. Ayahnya memang bukan pembatik tapi Eyang Santosa merupakan pengusaha batik yang cukup dikenal saat itu. Maka, sejak ia mulai tangkas menulis, Santosa sudah diminta Eyang putrinya, yang seorang pengusaha batik di Kampung Laweyan untuk membantu menghitung kain, dan mencoba seluruh proses pembatikan. Sang Eyang memang berharap Santosa meneruskan usahanya memajukan batik Solo.
Namun, harapan itu rupanya tak berjalan mulus. Saat melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran, Bandung, keterikatan Santosa dengan batik sedikit memudar. Santosa muda bahkan sempat merintis usaha bisnis lain di Kota Kembang itu. Namun, panggilan jiwa memang tak dapat ditolak, di tahun 1967 Santosa memutuskan kembali ke kampung halaman tercinta di Solo. Mata dan hatinya langsung tertumbuk pada satu benda, ia jatuh cinta lagi pada batik. “Eyang waktu itu sudah sepuh, ia berharap saya melanjutkan usaha batiknya,” kenang Santosa.
Didorong keinginan berbakti pada eyang dan harapan agar batik bisa lebih berkembang, Santosa mulai memutar otak mencari akal agar batiknya bisa bisa lebih dikenal. Ia memutuskan untuk belajar lebih dalam mengenai batik, mulai dari proses pemilihan bahan, pembuatan motif, pencelupan, hingga pemasaran batik di perhatikannya dengan sungguh-sungguh. Makin lama mempelajari seluk beluk batik, makin dalam pula kecintaannya terhadap teknik motif tekstil asli Indonesia ini.
“Pewarnaan kain dengan lilin memang bisa ditemukan di negara lain seperti Cina. Teknik seperti itu disebut teknik celup rintang. Hal itu sangat berbeda dengan teknik membatik yang ada di Indonesia,” jelasnya.
Kelahiran Danar Hadi
Setelah bekal ilmu dirasa cukup, mulailah Santosa mengembangkan usaha batik. Toko batiknya, dimulai dari sebuah ruang kecil di rumah keluarga Santosa di Jalan Radjiman, Laweyan. Dari ruang, yang menurut Santosa lebih menyerupai gudang itu, embrio batik Danar Hadi yang kondang itu lahir.
Pelan namun pasti, batik keluaran toko Santosa mulai mencuri perhatian beberapa pedagang besar. Motif batiknya yang selalu baru menjadikan batik Santosa banyak dicari. “Sebenarnya saat itu penjualan batik sempat merosot, saya nyaris putus asa. Tapi tiba-tiba datang seorang pedagang dari Tanah Abang memesan batik dalam jumlah besar. Wah, semangat saya jadi terpompa lagi.”
Momentum itu ternyata tak hanya memompa semangat Santosa, tapi juga menyadarkan ia akan sesuatu, yaitu sebuah nama. Ya, nama untuk membedakan batiknya dengan batik lain. Tanpa pertimbangan rumit, terbersitlah nama Danar Hadi, diambil dari nama sang isteri Danarsih. “Saya tidak berpikir macam-macam. Sepertinya nama Danar Hadi bagus ya saya pakai saja,” jawab dia.
Membesarkan Danar Hadi, diakui Santosa, bukan perkara mudah. Apalagi, batik sempat melalui masa suram sebelum kini naik pamor kembali. Kunci keberhasilan itu terletak pada semangat berkreasi yang terus menggebu.
Inovasi, ya itulah poin penting dalam bisnis ini. Santosa mengatakan ia tak pernah bosan mencipta motif dan membaca selera pasar. Misalnya saja, saat batik Wonogiren dengan motif remuk disukai di era Presiden Soeharto. Batik ini kerap dipakai oleh Ibu Tien Soeharto yang tumbuh besar di Wonogiri, sehingga banyak istri pejabat yang juga ikut menggunakan Batik Wonogiren. Peluang ini ditangkapnya. Santosa tanpa ragu ikut urun meramaikan pasar batik dengan batik Wonogiren ala Danar Hadi.
Usaha itu tak sia-sia, batiknya laris manis di pasaran. Bahkan, hingga kini setelah banyak brand batik lain bermunculan, Batik Danar Hadi tetap eksis. Ini tentu tak lepas dari tangan dingin Santosa yang meski usianya tak lagi muda dan kekuatan fisiknya tak setangguh dulu, ia tetap turun tangan langsung mengontrol seluruh proses produksi, terutama dalam pembuatan motif batik terbaru.
Sebagai pecinta batik, wajar bila Santosa juga punya banyak koleksi kain batik dari berbagai daerah dan beragam zaman. Total ada 12.000-an lebih koleksinya. Sekitar 1000an diantaranya ia pajang di Museum Batik Danar Hadi, agar bisa dinikmati dan jadi bahan pembelajaran bagi masyarakat.
(Baca juga : Museum Batik Danar Hadi, Merekam Sejarah Batik)
Museum Batik Danar Hadi jadi bukti betapa besar kekaguman sang pemilik museum terhadap batik. Dalam salah satu bagian bangunan yang didirikan sekitar tahun 1890-an itu ratusan batik tulis aneka motif terpampang dan tertata rapi. Di bagian depan kain tertera keterangan singkat mengenai jenis dan motif batik, ada Batik Belanda, Batik Cina, Batik pengaruh India, Batik Kraton, Batik Saudagaran dan masih banyak lagi.
Semua batik itu, menurut sang kolektor, dibuat oleh tangan-tangan pembatik Indonesia tempo dulu. Embel-embel kata Belanda dan Cina dibelakangnya hanya menunjukan jenis motif kain yang dipengaruhi budaya Cina atau Belanda. Semua kain batik kuno itu dikumpulkan satu persatu oleh pemilik Rumah Batik Danar Hadi, Santosa Doellah.
“Tidak semua koleksi batik, ditampilkan di sini. Di rumah masih ada ratusan kain batik kuno lain, jumlah totalnya sekitar 12.000-an kain,” kata Santosa.
Obsesi Santosa mengoleksi kain batik kuno sesungguhnya sudah dimulai sejak ia merintis bisnis batik. Saking tergila-gila dengan batik, Santosa tak ragu merogoh kocek dalam-dalam demi sepotong kain. Di masa-masa itu, kenekatan Santosa bahkan sempat diprotes sang isteri, Danarsih. “Waktu itu isteri saya mengingatkan, wong uang cuma sedikit kok ya nekat beli kain yang mahal, begitu katanya,” tutur Santosa mengenang.
Saran sang isteri toh rupanya tak menyurutkan obsesinya terhadap batik kuno. Malah, ia makin nekat berburu kain batik kuno hingga keluar negeri. Mulai dari berburu kain di berbagai Balai Lelang ternama dunia, hingga bertransaksi dengan kolektor kain di berbagai belahan dunia ia lakoni demi menambah koleksi kain. Salah satu perburuan yang paling membekas adalah kisah perburuan di Belanda.
"Saya dengar salah satu kolektor kain batik di Belanda mau menjual batik kunonya. Semua ada 2.000 kain. Saya langsung surati dia untuk membeli tapi ditolak, alasannya ia tak ingin menjual kepada perorangan karena khawatir kain jadi tak terawat. Dia hanya mau menjual kepada museum atau yayasan,” tutur Santosa.
Beruntung, tak berapa lama datang surat dari sang kolektor, Harmen C Veldhuisen, menanyakan keseriusan Santosa untuk membeli sisa kainnya. Tanpa pikir panjang, Santosa langsung merespon surat itu dengan terbang ke Belanda. Selama sepekan di musim dingin, setiap sore Santosa bertandang ke rumah Veldhuisen menyatakan keseriusannya. “Tapi ia tak langsung percaya, ya saya putuskan untuk terus bertahan disana.”
Untunglah, penantian itu akhirnya berbuah manis.
Sebagai pecinta batik, Santosa mengaku sempat sakit hati karena klaim Malaysia
Makanya, pengukuhan batik sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO jadi berita yang sangat melegakan baginya.
Sakit hatinya saat melihat pameran batik yang diadakan Malaysia di Kuala Lumpur beberapa waktu sebelumnya lenyap sudah.
Beberapa tahun sebelum batik Indonesia dikukuhkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, pasangan pengusaha batik Santosa Doellah dan Danarsih sempat menghadiri undangan pameran batik yang digelar pemerintah Malaysia di Kuala Lumpur. Disana keduanya disuguhi aneka batik yang konon merupakan produk asli Malaysia, lengkap dengan peta perkembangan dan penyebaran batik di dunia.
“Bayangkan, dalam peta itu, Indonesia sama sekali tidak disebut. Peta hanya menunjukkan sejarah teknik celup rintang berasal dari China langsung menuju Malaysia. Tidak disebutkan Indonesia sebagai pusat perkembangan batik. Bagaimana tidak sakit hati,” kata Santoso mengungkap kegundahannya waktu itu.
Gejala ini sebenarnya bukan luput dari perhatian Santoso, jauh sebelum undangan Malaysia sampai kepadanya, pria yang masih tampak bugar di usia senjanya itu, mengaku sudah kerap mengusulkan ke pemerintah agar memperjuangkan pengakuan dunia terhadap batik. Mulai dari masa pemerintahan Megawati hingga masa pemerintahan SBY. “Saat bertemu dengan Presiden Megawati saya ungkapkan bahwa pemerintah juga harus ambil peran dalam perjuangan pengakuan batik oleh dunia, penguasah batik tidak mampu berjalan sendiri tanpa bimbingan pemerintah.”
Lama berlalu, usulan ini tak segera direspon pemerintah. Baru setelah ramai perseteruan dengan Malaysia soal batik mencuat, muncul respon dari pemerintah. “Yah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” kata dia.
Selanjutnya untuk terus mengembangkan batik, Santoso mulai menggodok konsep untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi khusus batik. Di lembaga pendidikan itu, setiap orang dapat belajar mengenai seluruh seluk beluk batik, mulai dari proses pembuatan, pewarnaan, hingga masalah pemasaran dan pengembangan diajarkan lengkap.
Semoga jadi tambah tahu ya
Foto : Koleksi pribadi Santosa Doellah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
siip mbak, solo memang pusatnya batik. perjuangan danar hadi memang hebat
BalasHapus